Pada masa pendudukan jepang, Sultan Melayu tentunya memiliki strategi dalam sistem pertanahan dan pemerintahan yang layak di ketahui baik terhadap berbagai aspek kehidupana budaya masyarakat Melayu – Tionghoa dan Jepang ketika itu.
Lekat pada peperangan pada masa kolonial dan Belanda
tentunya menjadi prasasti adanya berdirinya kebun sayur yang ada di psp Pontianak,
menjadi ikon terhadap adanya jajahan jepang ketika itu sebelum kemerdekaan
tepatnya.
Ketika hal ini tidak lekat pada pengetahuan budaya di
masyarakat mengenai sistem pertanahan tentunya layak diketahui dengan adanya
sistem pertanian datar yang ditanami oleh orang Tionghoa ketika itu layaknya
seperti perkebunan sayur yang ada di Pontianak.
Pada masa itu juga, perubahan terhadap konflik dan perang
terjadi pada masa itu melekat adanya sistem tanah yang layak disebut dengan
adanya perjanjian dan perang. Pertanian yang masih ada seperti sayur ada di
pedesaan dan perkotaan di Siantan tepatnya di Pontianak.
Tanah subur menjadi penentu sistem pertanian itu tumbuh
hingga saat ini, 2022 yang berlanjut dengan adanya sistem pertanian yang layak
di ketahui dengan adanya sistem perubahan pertanian di pulau Jawa seperti the,
kopi, dan sayur mayor seperti wortel, kubis dan lainnya.
Hal ini menjadi berubah ketika perubahan agama dan budaya
melekat pada aspek kehidupan sosial di masyarakat untuk tidak bertani
dikarenakan adanya agama Katolik masuk dengan begitu cepat di Kalimantan,
sehingga pertanian sayur hendak jarang ditanam kembali.
Perubahan pertanian layak dipahami dengan adanya sistem
pertanian yang dibuat berdasarkan hasil petani masyarakat Tionghoa di Siantan
tepatnya. Dengan begitu, tanaman yang lunak itu menjadi identitas terhadap
budaya pertanian kota yang kini disebut dengan hidroponik atau tanaman
perkotaan.
Banyak persoalan sosial, dan isu yang dibuat oleh orang
pribumi di Pontianak, agar tanaman tersebut kalah diproduksi ketika itu
tentunya sebelumnya ada tanamana yang menyuburkan secara tidak alami.
0 comments