Ternyata dibalik Losmen lampu merah di Batavia telah menyimpan ulasan kata seperti “ Jika anda tidak bisa mengirimkan perempuan baik-baik yang pernah menikah, mohon kirimkan kami para perempuan muda, “ ditulis Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dalam surat tertanggal 11 Mei 1620.
Tentunya surat tersebut dilayangkan untuk para direktur VOC. Sebagai pendiri Kota Batavia ketika itu, Coen mendesak untuk terpenuhinya persyaratan kebutuhan dasar bagi warga kota yang beradab. Ia tentunya dengan geram melarang keras pergundikan, perzinahan, dan pelacuran. Menurut Coen Kota yang beradab harus dimulai dari warga yang beradab.
Sementara itu jumlah warga perempuannya yang tak sedikit di Batavia, atas kebijakan VOC yang ketat dalam menerima pemukiman baru. Sehingga, Coen pada periode 1623-1669, ia menghentikan migrasi perempuan di Hindia Timur.
Kemudian, Dengan jumlah warga lelaki yang jauh melebihi warga perempuannya, Batavia mengalami krisis sosial yang tak terelakkan: pelacuran yang merajalela. Peraturan Sang Gubernur Jenderal pun kandas dalam penegakan hukumnya.
Adriana Augustijn, perempuan mardijker atau budak yang telah dimerdekakan, tercatat sebagai salah satu pelacur di Batavia yang terjerat kasus hukum. Demikian berkas yang merekam risalah pernyataan Adriana tertanggal 29 Agustus 1689.
Kini, berkas lawas itu berada di ruang penyimpanan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Koleksi lembaga tersebut tentang arsip pemerintahan tertinggi selama 1602-1811—kalau direndeng—bisa mencapai sekitar 450 meter!
Orang-orang mardijker memang dikenal urakan di Batavia. Adriana, perempuan berkulit gelap, dilaporkan oleh para tetangganya sebagai perempuan yang bekerja dengan memanfaatkan tubuhnya. Lelaki yang mengencaninya beragam, dari budak hingga orang bebas. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah.
Dan di Batavia abad ke-17, pilihan menjadi pelacur atau gundik tampaknya lebih menjanjikan bagi para budak perempuan ketimbang harus menjadi budak rumahan yang kerap jadi sasaran sumpah serapah sang nyonya majikan.
Berbeda dengan Adriana yang merupakan pelacur jalanan, Lysbeth Jansz bekerja menjual tubuhnya sebagai pelacur di losmen merah di luar tembok kota. Lysbeth merupakan perempuan asal Rotterdam dan sudah kerap didera hukuman, bahkan pernah dibuang di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Namun, Batavia tetap menjadi daya tarik baginya untuk kembali.
Losmen-losmen lampu merah itu awalnya di dalam tembok kota, sekitar Kastel Batavia. Setiap saat, serdadu-serdadu VOC dapat berkencan dengan perempuan pilihan mereka, tanpa harus membawa masuk ke dalam barak. Dalam perkembangannya, losmen itu pun tumbuh di luar tembok kota.
Pernyataan tertanggal 8 dan 11 September 1682, yang kini tersimpan di ANRI, juga menunjukkan salah satu losmen merah yang sohor di Batavia. Losmen itu menawarkan keliaran yang bertajuk "De Berebijt"—artinya gigitan beruang.
Lokasinya di Jacatraweg, kini Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah selatan tembok kota. Dari arsip zaman VOC itu, Niemeijer mengungkapkan bahwa "De Berebijt" merupakan salah satu rumah bordil yang kerap rusuh karena menjadi ajang duel. Sejumlah losmen merah lainnya yang dimiliki mucikari Eropa dan Asia membuka praktik di sekitar Niewpoort, kini sekitar Jalan Pintu Besar Selatan.
Tidak hanya pelacuran, tetapi juga pemerasan seksual telah terjadi di Batavia. Pada 1644, sebanyak lebih dari dua lusin warga Batavia terbukti menjadi germo. Mereka mendandani para budak perempuan mereka bagai noni-noni terhormat dan memaksa para budak itu untuk melacurkan diri.
Kasus pemerasan seksual juga diungkap oleh Leonard Blussé, sejarawan Belanda, dalam Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia. Blussé mengisahkan perkara seorang istri yang bersaksi kepada dewan pengadilan pada pertengahan 1625 karena hak-haknya sebagai perempuan justru lenyap setelah menikah. Sang istri mengadukan suaminya yang bejat. Demi imbalan uang, setiap hari sang suami memaksa dia dan budak perempuannya untuk melayani kebutuhan seks para lelaki Belanda.
Mengapa pelacuran sulit dicegah dan justru menjamur di luar tembok Kota Batavia? Salah satu penyebabnya adalah sindikat antara pemilik losmen dan pegawai kehakiman yang korup dengan mengambil keuntungan dari bisnis lendir itu.
Tampaknya keberadaan losmen lampu merah yang disokong penegak hukum bukan hal baru di kawasan yang kelak menjadi megapolitan Jakarta ini. Apakah kita sedang mewarisi keindahan negeri bebas korupsi di kaki pelangi?
Sumber : Kompas.com
0 comments