Kehidupan beragama akan memiliki nilai dan perbedaan terhadap budaya ekonomi di masing – masing keuskupan. Olah tangan yang baik sebagai bentuk dari setiap doa, dan makanan menjadi baik dikonsumsi bagi mereka dalam memanfaatkan agama katolik dan non kristiani seperti Budha dan Konghucu, yang memiliki karakteristik semena – mena.
Hal ini menjelaskan untuk mendapatkan uang, ketika mereka
menguasai ekonomi dan perbedaan agama non kristiani, dan semena – mena dalam
kehidupan sosial budaya dan agama di Pontianak. Hal ini menjelaskan bagaimana
kehidupan sosial budaya dan agama lekat pada konsumsi mereka terima.
Dalam suatu rancangan Tuhan, akan berbeda dengan apa yang mereka
terima dan konsumsi, sehingga keinginan untuk perampasan aset, penyingkiran
tenaga kerja, serta persaingan harga bisnis terjadi hingga saat ini di kawasan Tionghoa.
Menjelaskan adanya kedudukan mereka di masyarakat, dan menyadari
bagaimana hidup dan berpindah dalam ekonomi mereka libatkan dalam persoalan
kekotoran mereka sebagai bangsa Tionghoa di Indonesia, dan Pribumi.
Maka, dapat dijelaskan bagaimana spritualitas ekonomi dan kuliner
berasal dari manfaatk hidup mereka sebagai bangsa yang buas dan kejam. Ketika
mereka membuat kejahatan rumah tangga, ekonomi terutama Tionghoa Indonesia, dan
Non Tionghoa.
Hasil dari seksualitas maka mereka hidup dalam kekotoran hidup
mereka sebagai agama non kristiani, setelah mengalami krisis ekonomi, dan
kepentingan politik lainnya maka mereka berpindah agama ketika sudah Tua, hal
ini dilakukan bangsa seperti Orang Jawa, dan Tionghoa Hakka disini.
Pontianak, bagaimana mereka hidup dalam agama dan moralitas dan
ekonomi yang rendah dengan adanya penyimpangan ekonomi, dan seksualitas dalam
memahami agama kristiani. Hal ini, menjelaskan bagaimana budaya Tionghoa Hakka berkeinginan masuk dalam setiap ornamen perayaan Imlek dalam pengakuan budaya di
gereja Katolik.
Seringkali, apa "orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan.

0 comments