Pontianak, chiness perkampungan di tinggal oleh orang Tionghoa berdasarkan sistem ekonomi politik, dan mata pencaharian. Di Balik bangunan kuno dan tua, diwilayah Tanjung Pura dipenuhi pedagang Tionghoa menjual kebutuhan sehari – hari dan teknik.
Ketika pagi tampak pedagang penjual kue sudah ramai di kunjungi
dengan kehidupan santai dan kebiasaan Tionghoa untuk ngteh – dan kopi di meja
pengujung. Hal ini menjelaskan aktivitas ketika mereka masa tua. Rentang waktu
tahun 2011 masih ramai dikunjungi yang lebih hidup pada ekonomi UMKM.
Melalui kehidupan sosial Tionghoa Hakka tidak jauh dari kehidupan
karaton diseberang sungai Kapuas tampak adanya kapal badung, yang membawa
kebutuhan masyarakat menuju arah sungai pedesaan. Tionghoa Hakka di Pontianak.
Maka, akan tampak dengan
perbedaan terhadap kehidupan ekonomi di Jakarta yang tampak aktif perusahaan
asing dan begitu lamban mengenai UMKM, hal ini dikarenakan tingkat kejahatan
yang sangat dihati – hatikan.
Berbagai hal terkait istilah kehidupan sosial budaya, masyarakat
disana yang berurbanisasi untuk mencari nasib dalam hal ekonomi, lebih banyak
pada TIonghoa Hakka di Pontianak, berdasarkan kebutuhan politik seksualitas.
Menuju perkampungan Tionghoa Hakka, tampak sekali berbagai hal terkait dinamika
budaya seperti makanan yang cepat dimiliki karena mata pencaharian kelas
pekerja, maka uang selalu ada dikantong saku.
Itu adalah kehidupan kelas pekerja Tionghoa Hakka di Jakarta,
dengan aktivitas sosial ekonomi Tionghoa Hokkien kelas pekerja. Membahas
mengenai perkampungan China di Pontianak, akan tampak berbagai hal terkait
rumah, dan moralitas seksualitas yang disampaikan melalui kehidupan miskin
pedesaan diluar Pontianak.
Modernitas,
Sarawak – Malaysia - Pontianak
Migran yang ditinggal tampak dalam kehidupan Sarawak – Malaysia
yang memungkingkan Tionghoa Hakka, untuk memiliki dan konsumsi makanan sehari –
hari yang bisa dijual di Pontianak oleh Tionghoa disini. Ketika hal ini terjadi
dengan adanya budaya sosial akan tampak pada budaya masyarakat adat Sarawak dan
Tionghoa Hakka.
Produksi dan kelayakan
hidup Tionghoa Hakka di Perkotaan adalah melalui perdagangan yang
menjadi kebutuhan hidup seperti makanan sehari – hari, namun seringkali hal ini
diketahui dengan adanya prubahan sistem politik dan dinamika sosial masyarakat
yang hidup sekitar kawasan hutan yang terisolasi. Hal ini seringkali terjadi
denvan adanya budaya luar seperti perbatasan yang erta dengan barang yang
;lebih murah ketimbang dimiliki Indonesia.
Moralitas seksualitas, memiliki beban dalam hidup Tionghoa
berdasarkan status sosial, dan ekonomi sehingga kemajuaan dan kebutuhan pada
sektor ini berasal dari kalangan sosial masyarakat Tionghoa yang hidup
berdasarkan pengetahuan. Hal ini, dalam perkampungan Tionghoa Hakka, masih
dipenuhi dengan budaya tradisional menjadi kelayakan hidup tergantung
kepentingan ekonomi yang dibutuhkan.
2000 – 2011, Modernitas perkampungan Tionghoa Hakka, dilanjutkan dengan adanya hasil seksualitas dengan masyarakat adat setempat seperti Dayak dan Melayu, maka diketahui dengan adanya perbedaan hidup modernitas dan kehidupan layak setiap perkampungan Politik ekonomi Tionghoa 1945 – hingga saat ini.
Diketahui melalui kebutuhan akan
pengetahuan dipahami sebagai bentuk hal yang baru. Kekekerasan dan konflik
sering terjadi pada tahun 1999 hingga sekarang diakibatkan kemiskinan pada kaum
muda, dan orangtua mereka hingga pada tahun 2022, yaitu orang Tionghoa Indonesia dan Pribumi diisini, berlanjut pada tradisi seksualitas.
Kepura – puraan hidup ekonomi sosial dan kekejamannya berasal dari
kalangan yang menekuni sistem ekonomi yang berasal dari masyarakat miskin yang
berpindah – pindah, dan berasal dari kaum pribumi pedesaan. Sistem ekonomi
berjalan sesuai dengan budaya Tionghoa disini lebih banyak dibeli oleh kalangan
Tionghoa ketimbang pribumi termasuk
Jawa, Dayak, Melayu dan Batak.
Kemiskinan terjadi pada kaum pribumi, berasal dari hidup di masa
lalu terutama pada ekonomi politik, dan seksualitas. Hal ini memiliki dampak
terhadpa minat jual – beli apa yang dikonsumsi, maka berbagai hal terkait
moralitas ekonomi dan politik memiliki nilai terhadap budaya sosial yang
berasal dari kalangan kelas sosial untuk diterima berdasarkan aktivitas
keagamaan.
Rasa tidak senang, dan kehidupan beragama katolik memiliki nilai
terhadap kasih dan cinta, biasa dimanfaatkan oleh orang Pribumi untuk mencoba
berbisnis, tetapi tanpa malu untuk mengikuti berbagai hal terkait kemiskinan
Negara, seperti Indonesia. Keagamaan, tidak layak dipahami sebagai dasar dari
prilaku dan kepentingan seksualitas.
Maka berbagai hal terkait dengan ekonomi lebih berlanjut pada
ketidaksadaran hidup kaum pribumi untuk mengubah nasib, dengan berbagai hal
seperti seksualitas, dan dinamika budaya orang kaya tetapi, tidak mampu membeli
kepentingan lainnya.
Rasa tidak malu kaum Tionghoa Indonesia, di perkotaan terutama
orangtua di masatua seperti dialami marga – marga Tionghoa dan pribumi disini. Hal
ini, tampak terhadap berbagai hal serta aktivitas miskin materi dan
spritualitas, maka berasal dari menopoli ragam pekerjaan dengan kaum pribumi
disini.
Berdasarkan pembentukan iman yang berasal dari kalangan pastoran
Santo Yusup, dan pendidik serta guru dalam pembangunan agama katolik di
Pontianak dan pekerjaan yang direncanakan dengan busuk hidupnya, serta
kekerasan dan konflik direncanakan dari hasil pekerjaanya dan moralitas hidup
sebagai orang tidak beragama non katolik, serta kemiskinan sebagai bagian dari
budaya untuk mendapatkan upah.
Yang hendak dipahami adalah kehidupan kota berasal dari moralitas
dan budaya yang ingin menguasai dan menopoli hendak dipahami dari Dosa awal dan
akhir dari pembangunan ekonomi 1967 – 1999. Ketika hidup mereka sebagai orang
Indonesia, tampak bagaimana hidup miskin pada pembangunan ekonomi yang terjadi
hingga saat ini.
0 comments