Kebudayaan Jawa pada masa kolonial,
Kemerdekaan dan hingga saat ini masih memegang posisi yang layaknya pilihan
terhadap budaya yang menjadi kepercayaannya, karena pilihannya adalah pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno, uang sebesar 13 juta gulden, tentu saja bukan
jumlah yang kecil, jika ditakar dengan ukuran sekarang nominalnya kira-kira
setara 69 juga euro, atau lebih dari 1 triliun rupiah.
Segepok uang itulah yang diberikan
secara Cuma-Cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepadanya. Ketika Republik ini
berdiri, berbagai hal terkait pamor seolah-olah dengan para raja Nusantara pro republic
lainnya macam Hamengkubuwana IX dan pakualam VIII dari Yogyakarta atau Hamid II
dari Pontianak.
Berbagai pembangunan telah
direncanakan guna menjadi pengetahuan pada masa modern di era pergerakan
Nasional itu. Hal ini, dapat diketahui bahwa Syarif Kasim II memang sosok yang
memiliki pemikiran modern, sejak masa belia tepatnya tahun 1904, tujuannya ke
Batavia untuk memperdalam ilmu hukum agama dan ilmu pemerintahan.
Ketika salah satu Profesor Snouck
Hurgronje, Orientalis yang menjadi penasihat pemerintahan kolonial dan focus pada
pembangunan saat ini. Kebijakan dibuat tentunya mengarah pada sistem politik
yang dibuat berdasarkan kepentingan ekonomi politik saat itu, tepatnya pada
masa Kesultanan.
Berdasarkan catatan sejarah, dapat
diketahui bahwa mengelola Latifah School, ia juga mendirikan asrama putri,
taman kanak-kanak, serta menggagas sekolah perempuan lainnya bernama
Madrasyahtul Nisak. Syarif Kasim II sendiri terus menentang Belanda melalui
gerakan diam-diam.
Salah satunya memberi dukungan
kepada “pemberontakan” Si Koyan pada 1931, yang dilancarkan oleh mereka yang tidak
sudi dijadikan pekerja paksa. Bantuan dana juga diberikan secara klandestin
oleh Syarif Kasim II untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan rakyat,
memberikan fasilitas pelatihan kemiliteran kepada kaum pemuda, hingga menentang
kebijakan romusa oleh pemerintahan pendudukan Jepang pada 1942.
Di Serambi Makkah, Syarif Kasim II
bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya sebagai penasihat pemerintah
Karesidenan Aceh. Sultan masih menyuarakan dukungannya terhadap RI dari Aceh,
termasuk dengan membujuk raja-raja di Sumatra untuk berpihak kepada Republik.
Setelah masa damai, Syarif Kasim II
sempat tinggal Jakarta - Batavia kendati tidak menempati posisi khusus di pemerintahan.
Itu terjadi lantaran ia harus kembali ke Riau untuk mengurusi harta peninggalan
leluhurnya yang ternyata masih ada di Singapura.
Di Riau, sultan menetap di bekas
kediaman almarhumah istrinya, Latifah. Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura
selama beberapa tahun dan sempat tinggal di negeri bekas jajahan Inggris itu.
Namun konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi pada awal 1960-an
membuat Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya.
Tidak ingin terseret dalam konflik,
Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan masa tua di kampung halamannya
hingga meninggal pada 23 April 1968, tepat hari ini 52 tahun lalu. Pengorbanan
Syarif Kasim II untuk Republik amat besar. Namun pemerintah RI baru memberinya
gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1998. Nama Sultan Syarif Kasim II
diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Pekanbaru, Riau.
0 comments