Politik Seksualitas Masyarakat Jawa Masa Kolonial

Pada masa kolonial, gejolak Politik liberal dan masuknya kapitalisme di Jawa pada awal abad ke-20 tidak memakmurkan masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan yang tidak dapat dinikmati oleh kalangan tertentu terutama yang  berdampak pada gejolak sosial.

Oleh karena terdesak secara ekonomi, ada yang menjadi pencuri, pelacur, serta banyak keluarga pribumi yang mempunyai anak perempuan—secara tidak langsung—menjualnya kepada laki-laki Belanda untuk dijadikan gundik atau nyai. Bentuk perilaku dan prostitusi di Nusantara meningkat drastis sejak abad ke-19, terutama setelah tahun 1870 sampai menjelang abad ke-20 ketika ekonomi kolonial dibuka untuk modal swasta. 

Pada masa itu juga, Ekonomi kolonial untuk modal swasta berupa pengembangan perkebunan, terutama di Jawa Barat yang penduduknya jarang, industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memerlukan banyak buruh lelaki dari daerah lain.  

Maka dari itu, Para buruh tersebut tidak hanya membawa keluarga mereka, tetapi dengan uang yang dimiliki mereka mencari perempuan di wilayah tempat tinggalnya. Beberapa tulisan menjelaskan hal ini,  pada tahun 1906 bertempat di Residen Batavia melaporkan bahwa pelacuran di Karawang meningkat ketika dibangun rel kereta api antara Karawang dan Padalarang.

Dengan hal tersebut maka, Kenyataan maraknya dunia seks di Jawa yang berupa pergundikan, nyai, pelacuran, dan sejenis membawa implikasi yang sangat buruk pada perkembangan kesehatan terutama bagi kalangan perempuan pekerja seks atau yang diperjual-belikan paksa.

Menurut W.F. Wertheim dalam Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, sekitar tahun 1900 Belanda telah berhasil menetapkan dominasinya di seluruh kepulauan Nusantara. Dominasi kolonial telah membentuk stratifikasi sosial menurut ras yang menyebar di Jawa, yang juga meluas ke luar Jawa.

Gejolak ekonomi tersebut yang membuat berbagai stratifikasi sosial  atau golongan tersebut yang merupakan salah satu motor penggerak berbagai perubahan yang tengah terjadi. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat perubahan masyarakat di Jawa menjelang awal abad ke-20, yaitu dengan adanya keadaan dan komposisi penduduk, mobilitas sosial dan urbanisasi, ekonomi liberal dan terbentuknya mentalitas baru, industrialisasi yang mendorong modernisasi dan perilaku sosial, dan masyarakat Jawa yang semakin terbuka.

Pada pengetahuan masyarakat Jawa ketika itu, dapat diketahui bahwa seks menjadi simbolisasi atas sebuah kekuasaan yang tercermin pada elite birokrat. Kondisi tersebut dapat dilihat pada masa kejayaan keraton Jawa, seksualitas telah menjadi bagian integral dalam kehidupan dan ekspresi seni-budaya Jawa. 

Dalam serat Centhini masalah seksual ternyata juga telah menjadi tema-tema sentral dan pokok bahasan yang diungkap secara verbal atau terbuka, padahal dari sisi tertentu bertentangan dengan etika sosial Jawa. Selain serat Centhini, ada juga serat Kamawedha yang keduanya memberikan panduan memadai tentang seksualitas Jawa. Sedangkan untuk kaitan seks dengan kesehatan.

Pada masyarakat Jawa klasik mengenal dan membagi ajaran bercinta dalam konteks seksualitas menjadi lima titik perhatian, antara lain; Asmaratura, Asmaraturida, Asmaranala, Asmaradana, Asmaratantra, dan Asmaragama. Konsep bercinta ini masing-masing memiliki kelebihan dan ciri khas masing-masing. Pada umumnya ajaran ini lebih banyak dilakukan oleh kaum bangsawan dan orang-orang Keraton, namun ajaran ini telah mengakar kuat dalam konsep seni bercinta masyarakat Jawa.

Berbagai kajian yang dibuat dengan Buku yang ditulis oleh Gayung Kasuma berjudul Dari Privat ke Publik: Kehidupan Seksual di Jawa Awal Abad ke-20 juga menjelaskan perilaku seks di kalangan pribumi Jawa yang dilakukan oleh berbagai kalangan; priyayi atau elite birokrasi, pekerja atau buruh, hingga pekerja seni.

0 comments

Recent Posts Widget
close