Tuhan Dan Mata Pencaharian Tionghoa di Indonesia

Tionghoa mengenal politik identitas sejak pada tahun 1999an - 2000an yang dibentuk oleh partai politik PDI Perjuangan, dan Demokrat. Kantong politik berasal dari daerah melalui hasil hutan,  sehingga kerja yang dilakukan menggunakan otot dan pikiran tentunya tidak nyambung bagi masyarakat yang memiliki pendidikan politik lebih awal.

Biasanya adalah Tionghoa pedagang, yang berasal dari kalangan sosial biasa – biasa saja di Indonesia. Mengumpulkan hasil hutan, dan bekerja di Ibukota Jakarta adalah pilihan terbaik untuk melanjutkan hidup dan keturunan sebagai awal dari pekerjaan yang dihasilkan sebagai kelas pekerja.

Ketika konflik etnik terjadi, berbagai peristiwa budaya dan agama menjadi misi pelayanan dari berbagai kebiadaban mereka di tengah kota Pontianak ini. Sehingga, memiliki kesan terjadap kepentingan ekonomi, dalam hal ini jasa.

Pekerjaan yang dilangsungkan memang memiliki baik dalam hal ini, serta ketetapan mereka terhadap perubahan sosial, pemerasan, konflik etnik, perkelahian serta lainya itu adalah kalangan Tionghoa kebawah, hasil dari seksualitas dan lingkungan yang buruk.

Hal ini dijelaskan dipontianak, bahwa tidak mengenai pengetahuan dan perkataan bagi mereka dalam hal ini, dengan berbagai kepentingan ekonomi politik, dan spritualitas menjadi awal dari ketidakjujuran dalam bekerja, pembangunan ekonomi serta moralitas dan etika yang bermigrasi menjadi alasan pada tahun 2002.

Kesadaran Ekonomi dan Tuhan  menjelaskan bagaimana mereka hidup pada pejarahan, konflik Madura dan Tionghoa di masa lalu, baik disengaja atau tidak di Pontianak. Dengan mata uang yang diperoleh dalam pembangunan ekonomi, menjadi kaya akan bangsa di Indonesia akan lebih baik untuk saat ini.

Perubahan Orang tidak memiliki rasa budaya malu, dalam pelayanan mungkin terjadi, lai notaris tahu hal itu terutama pada ekonomi, dan medis yang diperoleh dari kecurangan hidup dan birokrasi yang tidak memiliki rasa budaya, kelas sosial yang tinggal disini.

Terutama sekolah swasta, seperti Gembala Baik,  Santo Paulus, Petrus, Asisis, serta kampus, seperti Polteq, Widya Dharma, baik itu dari ketelanjangan seksualitas, dan ketidakjujuran dalam bisnis dan birokrasi - korupsi hidup para suku dalam budaya Tionghoa Hakka – pribumi 1960an hingga sekarang. 

Disini pada kelas sosial rendah – menegah,  dan diparoki, melalui doa para santo dan santa. Jalan salib pada hari Jumat, untuk topeng keburukan spritualitas yang berbeda dengan Jakarta, melalui pembuktian spritualitas.

0 comments

Recent Posts Widget
close