Sejak tahun Indonesia berdiri tepatnya 1945, pembangunan sosial ekonomi di gereja – gereja katolik ditekuni oleh orang Tionghoa dan Pribumi seperti Jawa di pedesaan. Tinggal dan berpindah – pindah dari wilayah yang ada di Indonesia termasuk di Kalimantan pada Budaya Dayak.
Persaingan tidak sehat terjadi, dikarenakan persaingan dagang,
pengetahuan dan materi. Hal ini berdampak pada pekerja yang mengalami konflik
di pedesaan, termasuk hasil hutan. Dengan adanya kebiadaban hidup yang berasal
dari kalangan masyarakat adat dengan tabah melanjutkan ekonomi di pedesaan,
berdasarkan hasil laut dan hutan.
Budaya Tionghoa Hakka, diKalimantan ditekuni makanan Tionghoa
sesuai culture dari pedesaan di pedalaman, Kalimantan. Hal ini merupakan salah
satu budaya culture yang lekat pada kehidupan suatu Negara berdasarkan sosial
ekonomi terjadi melalui seksualitas, dan pengaruh misi agama katolik dan Islam
1960an.
Perdagangan yang tentunya dimulai dari pulau Jawa itu dekat pada
Ibukota Negara dan Keraton Jawa, agama Islam menyebar dengan berbagai
kepentingan spritualitas masyarakat adat, untuk lebih dekat pada Tuhan dan
budaya menjadi awal dari hasil panen yang diperoleh itu penting, maka disebut
dengan animesme.
Penting sekali dalam melihat berbagai hal terkait dengan budaya
culture masyarakat perkotaan yang ditinggal oleh budaya Tionghoa Hakka di
Pontianak, maka bahasa digunakan dengan dialek lokal yang beragam sesuai dengan
kekuasaan dan ekonomi.
Hal ini diketahui dengan baik bahwa spritualitas terus menjadi
penting dalam bertumbuh dalam iman sesuai dengan misi pelayanan awal di
Kalimantan Barat, Kab. Sintang. Culture budaya masyarakat adat dan Tionghoa
Hakka terjaling dengan romansa dan perdamaian yang hidup berdasarkan nilai –
nilai spritualitas melalui sosial ekonomi di masing – masing gereja katolik.
Persaingan tidak sehat akah dikhwatirkan bagi mereka yang belum
mengenal Tuhan dalam membangunan sosial ekonomi, tepatnya diperkirana pada
tahun 1970an – 1999 yang memiliki dampak pembangunan ekonomi diperbatasan
Indonesia, seperti Kab. Badau, Kab. Sambas, dan Kab. Bengkayang. Hal ini
diketahuin bahwa berbagai pengalaman hidup sesuai dengan aspek kehidupan
masyarakat yang diperkirakan adanya konflik kepentingan politik.
Bahagia sekali ketika hal ini baik dalam setiap kebutuhan yang
diperoleh dari kehidupan dan budaya Tionghoa di pedesaan, ketimbang
menceritakan budaya perkotaan. Hal ini terjadi adanya sifat alamiah yang
berasal dari masyarakat adat dan Tionghoa Hakka, dan budaya lainnya seperti
Jawa – Dayak terutama dalam hal ini ketika berurbanisasi untuk perdagang, ahli
pemerintah dan politik.
Sosial ekonomi perkotaan lebih lekat pada sistem politik di
Ibukota provinsi, dan Negara amat sangat berbeda sesuai dengan kepentingan yang
dibutuhkan dalam suatu ruang lingkungan budaya Tionghoa Indonesia yang tertutup
dan eksklusive. Hal ini dikhwatirkan berbagai kejahatan yang dilalui untuk
terus dikhwatirkan terutama wilayah yang rentan pada kehidupan sosial ekonomi
rendah.
Erat sekali dalam menjalankan pola kehidupan miskin masyarakat Tionghoa Hakka, karena bangunan yang diperoleh dari masa kolonial memiliki citra yang buruk terhadap politik di Pulau Jawa. Ketika pembangunan terjadi setelah itu.
Maka migrasi masyarakat Dayak di perbatasan seperti Malayisa turut
ikut untuk membangunan melalui kebudayaan Dayak yang dekat pada kota Pontianak,
ada disana melalui migran Tionghoa yang bermukim sebelumnya untuk bekerja di
negara tetangga, karena kemiskinan terjadi di Indonesia.
0 comments