Pontianak, begitu banyak kuliner yang nikmat untuk dikonsumsi dengan berbagai kalangan masyarakat adat dan Tionghoa Hakka disini. Ciri khas makanan Tionghoa adalah kelembutan dan ketekunan dan kenikmatan yang menjadi penting untuk di konsumsi, begitu juga dengan harga yang relatif mahal.
Rata – rata makanan
dan kuliner yang bisa dinikmati diantaranya Rp.15.000 – Rp.35.000 sudah bisa
dinikmati bagi masing – masing perorangan. Pada malam hari, makanan ini dapat
dinikmati dengan kondisi yang dibuat berdasarkan nilai – nilai budaya dan
sosial yang lekat pada kebudayaan lokal.
Masyarakat adat
pedesaan yang terdiri dari masyarakat dayak dengan ragam bahasa dan budaya yang
berbeda memiliki ketrikatan hubungan sosial dan seksualitas yang berasal dari
Tionghoa Hakka di perkotaan. Hal ini terjadi pada setiap hubungan interaksi
sosial, dan konflik yang perna terjadi diantara tahun 1967 Dayak - Cina dan
1998 Dayak – Madura.
Yang paling mulia
adalah ketika kehidupan perkotaan terjadi adanya masalah kelaparan yang berasal
dari kehidupan pada golongan kelas sosial menegah atas. Hal ini, mengundang
para ahli hukum, medis dan sosiolog untuk memahami fenomena ini berdasarkan
filsafat dan kehidupan beragama di pedesan dan perkotaan hingga saat ini.
Yang dapat menarik
pada pembelajaran agama Katolik, merupakan konsumsi adalah bagian dari
kehidupan mulia dengan adanya tragedi kelaparan yang berasal dari kalangan
kelas sosial ini. Berdasarkan history
kejadian, akan berasal dari kamp pengungsian, di Gereja Katolik Stella Maris,
dan GOR Pangsuma ketika itu.
Hal ini menjelaskan,
bahwa kekayaan yang diperoleh untuk kehormatan orangtua adalah berasal dari
pendidikan dan kelaparan terjadi ini berdasarkan sumber dari keghidupan sosial
masyarakat Tionghoa Hakka di Pontianak, yang kejam. Kejam dalam arti hal ini
adalah tidak memiliki Cinta dan kesetiaan, itu adalah gambaran masyarakat
Tionghoa Hakka dan kaum pribumi disini.
Kejam
Tidak Adanya Cinta Kasih dan Kesetiaan
Kekejaman bangsa
Tionghoa Hakka - Pontianak ini tentu menarik untuk dibahas di perkotaan
Pontianak ini, pada tahun 2022 media mengambarkan bahwa kemiskinan dan
pengganguran terjadi begitu banyak sesuai dengan data yang ada hingga saat ini.
Maka, terjadi dengan
adanya budaya lokal yang non Katolik tentu mengarah pada aspek agama Islam,
tentu dengan kekerasan yang terjadi medis meerupakan peranan penting dalam
melihat kembali persoalan yang berasal dari konflik di masa lalu.
Migrasi ke Negara
tetangga seperti Malaysia adalah tujuan dari kebutuhan untuk tinggal di
Pontianak dan Kabupaten, Hal ini merupakan salah satu aspek dari konflik sosial
dan budaya seiring dari masalah kelaparan yang terjadi di Negara tetangga.
Disana ada Dayak Iban – Sabah, tidak berbeda jauh masalah kehidupan filsafat
hidupnya yang senang sekali menciptakan konflik, dan perebutan wilayah Sabah.
Keburukan dan
kehidupan beragama yang rendah tentu berasal dari kedua suku ini, tanpa
terkecuali dengan masalah hidup sosial budaya di pedesaan. Ketika hubungan
dagang terjadi, maka kebangkrutan terjadi diantara masyarakat adat, dan
perkotaan dengan salah satu masalah konflik adalah mengenai kemiskinan.
Jual – beli seksualitas Tionghoa Hakka di perkotaan memang demikian, hal ini terjadi dengan seiringnya waktu dan kehidupan moralitas yang berasal dari kalangan agamis, dan politik. Salam satu hal ini bukan berarti dari masalah hidup yang tidak ikhlas sebagai orang tua.
Di dalam ruang lingkup terkecil adalah mengenai hidup sosial masyarakat Tionghoa Hakka di Pontianak, adalah keburukan marga Tionghoa Lim disini Pontianak, 1945 - 1950an mengenal sekali arti kekerasan dan kemiskinan, OFM. CAP Kapusin, hal ini tentu ditentang oleh Hukum Hak Asasi Manusia & Keadilan.
Petugas gereja baik sebagai
pembagi hosti dapat sekali dan berani untuk menyapa pada kondisi kelas
sosialnya yang biasa – biasa saja, di lingkungan gereja katolik santo Yosep Pontianak. Hal ini
terjadi, pada Minggu pada perayaan misa baik sebagai petugas itu. Hal yang
paling buruk terjadi disini, itu adalah gambaran pada kalangan orang biasa
disini.
Kemiskinan hidup
perkotaan Pontianak, dan pendidikan hingga kelaparan terjadi dengan adanya kejahatan
yang berasal dari ekonomi politik pecinaan yang berasal dari kalangan marga
djan dan Batak. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi politik dan kebangkrutan
dagang yang berasal dari urbanisasi, dan seksualitas.
Penguasaan akan Hutan
pada bisnis tentu terjadi dengan adanya istilah konflik hutan dan ekonomi. Hal
ini terjadi sesuai dengan kebutuhan dan politik di Kabupaten dan keluarga itu
sendiri. Terbentuk adanya kepentingan pasar dan keinginan. Kebutuhan
spritualitas, hanya menjadi suatu alasan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan
baik sebagai tenaga pengajar dan tenaga medis, dengan konflik dan kekerasan,
yang dibuat untuk menutupi marga yang disebutkan ini.
Jakarta, tidak
disukai dalam hal ini adalah Batak ini, tentu dikarenakan
kehidupan spritualitas, dan kebangkrutan dagang merupakan salah satu aspek penting
dalam memahami kehidupan budaya sosial mereka Tionghoa Hakka di Jakarta hingga saat ini pada masalah urbanisasi.
Sehingga migrasi terjadi dan kehidupan pedesaan ditinggal hingga saat ini.
Muncul suatu
kepentingan adalah ketika angka kemiskinan dan penganguran terjadi, serta hasil
pertanian di landa Banjir. Hal ini meciptakan kondisi masyarakat adat dan
penguasaan Tanah Tionghoa di sini, mengalami masalah dalam pengelolahan dan
distibusi, dikarenakan hasil panen tidak maksimal.
0 comments